KELAS : 4KA41
NPM : 12111660
-TUGAS-
Buatlah
kesimpulan macam-macam proposal yang ada tentang strategi kebijakan pembangunan
telematika!
Sektor Telematika masih dianggap sebagai sektor yang kurang
menarik untuk dibicarakan terutama dalam konteks diskursus politik praktis.
Tidak demikian halnya bila kita bersedia meluangkan waktu sejenak untuk
meneropong posisi strategis sektor telematika ini, khususnya bila dikaitkan dengan
kontribusi sektor ini terhadap perencanaan dan implementasi strategi
pembangunan ekonomi, sosial, politik, dan pertahanan keamanan nasional.
Meski kontribusi
sektor telematika dalam Pendapatan Nasional belum cukup signifikan, hanya
sebesar 5.1% utuk tahun 2000 dan 5.8% untuk tahun 2001 namun aktivitas sektor
ini cukup memberi warna tersendiri dalam perekonomian nasional. Ditandai dengan
mulai maraknya sekelompok anak muda membangun bisnis baru menggunakan teknologi
Internet, maka Indonesia tak ketinggalan dalam booming e-commerce, majalah
Warta Ekonomi edisi Maret 2001 mencatat ada sedikitnya 900 perusahaan dotcom di
Indonesia. Jika rata – rata setiap perusahaan menyerap 50 tenaga kerja ahli di
bidang telematika, maka 45.000 tenaga kerja telah terserap dalam industri
dotcom di Indonesia. Sayangnya, menyusul surutnya bisnis e-commerce dan
kurangnya dukungan infrastruktur informasi di Indonesia menjadikan banyak
perusahaan dotcom Indonesia mengikuti jejak rekannya di Amerika dan Eropa.
Pembangunan sektor telekomunikasi
diyakini akan menarik sektor – sektor lain berkembang, sebagaimana diyakini
oleh organisasi telekomunikasi dunia, ITU, yang secara konsisten menyatakan
bahwa penambahan investasi di sektor telekomunikasi sebesar 1% akan mendorong
pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 3%. Hipotesis ini telah terbukti
kebenarannya di negara – negara Jepang, Korea, Kanada, Australia, negara –
negara Eropa, Skandinavia, dan lainnya yang telah memberi perhatian besar pada
sektor telekomunikasi, sehingga selain jumlah pengguna telepon (teledensity)
meningkat, terjadi pula peningkatan pertumbuhan ekonomi.
Implikasi sosial dari
pemanfaatan teknologi khususnya telekomunikasi dan teknologi informasi belum
dapat dirasakan secara langsung oleh kelompok masyarakat miskin atau mereka
yang berpenghasilan rendah. Hal ini dapat dipahami karena rendahnya daya beli serta
bagi kelompok ini, telematika belum merupakan kebutuhan pokok yang harus
tersedia setiap hari. Dalam kondisi semacam ini, telematika masih menjadi
barang langka, mahal dan tidak berguna bagi golongan miskin dan mereka yang
tinggal di pedesaaan atau daerah terpencil. Sebaliknya, bagi golongan
terpelajar, atau mereka yang berpunya, pada awal abad milenium belakangan ini
muncul kecenderungan kuat adanya ketergantungan terhadap informasi. Penggunaan
telekomunikasi dan teknologi informasi khususnya Internet sebagian besar
dilakukan oleh kelompok masyarakat golongan menengah ke atas. Kondisi
kontradiktif dalam pemanfaatan telematika memunculkan fenomena yang kaya makin
kaya, yang miskin makin terpuruk dan tambah miskin. Ketidak-tanggapan penentu
kebijakan publik di bidang telematika terhadap fenomena umum semacam inilah
yang kemudian menimbulkan jurang digital (digital divide).
Jika kontribusi
telematika terhadap perekonomian nasional sudah ada cara mengukurnya, tidak
demikian halnya dengan kontribusi telematika tehadap pembangunan dan
peningkatan kualitas demokrasi. Bukti empiris menunjukkan bahwa telekomunikasi
dan teknologi informasi telah banyak membantu upaya masyarakat bangsa menuju
demokrasi. Bentuk sederhana keterlibatan telematika dalam demokrasi antara lain
penggunaan Short Message Service (SMS), Electronic Mail (E-mail), oleh
mahasiswa aktivis dalam pendudukan gedung DPR/MPR yang berujung pada runtuhnya
rejim orde baru. Pengembangan lebih lanjut pemanfaatan telematika dalam
mendukung upaya pendidikan politik dan demokrasi hanya dibatasi oleh kemampuan
manusia, bukan oleh teknologinya itu sendiri. Fakta yang cukup menarik, belum
banyak partai politik yang secara khusus memberi perhatian pada telematika,
baik memanfaatkannya sebagai sarana untuk mengelola organisasi sehingga menjadi
partai modern berbasis teknologi, maupun menggunakan isu – isu kebijakan dan
strategis di seputar telematika yang dapat menarik simpati masyarakat luas.
Permasalahan Umum
Permasalahan di sektor telematika, sebetulnya tidak beranjak jauh dari tahun ke tahun, masih di sekitar rendahnya infrastruktur jaringan telekomunikasi, rendahnya penetrasi Internet, pasar yang masih dikuasai oleh pelaku dominan, masih tingginya daftar antrian calon pelanggan telepon, masih relatif rendahnya kontribusi sektor telematika terhadap Pendapatan Nasional, makin terbukanya entry barrier bagi produk dan jasa asing untuk masuk ke Indonesia, sementara produk dan jasa Indonesia di bidang telematika yang diekspor ke luar negeri masih rendah dan seringkali tidak mampu bersaing di pasar global, permasalahan pro dan kon menyusul divestasi BUMN telekomunikasi, lambatnya realisasi pendirian Badan Regulasi telekomunikasi yang bersifat mandiri sesuai dengan mandat Undang – Undang Nomor 36/1999 tentang Telekomunikasi, permasalahan Struktur, Perilaku dan Kinerja industri telematika Indonesia terutama setelah berlakunya AFTA, dan regim perdagangan bebas, serta belum adanya upaya serius dari pemerintah untuk memberi perhatian sepenuhnya terhadap pemanfaatan Internet dan dampaknya.
Permasalahan di sektor telematika, sebetulnya tidak beranjak jauh dari tahun ke tahun, masih di sekitar rendahnya infrastruktur jaringan telekomunikasi, rendahnya penetrasi Internet, pasar yang masih dikuasai oleh pelaku dominan, masih tingginya daftar antrian calon pelanggan telepon, masih relatif rendahnya kontribusi sektor telematika terhadap Pendapatan Nasional, makin terbukanya entry barrier bagi produk dan jasa asing untuk masuk ke Indonesia, sementara produk dan jasa Indonesia di bidang telematika yang diekspor ke luar negeri masih rendah dan seringkali tidak mampu bersaing di pasar global, permasalahan pro dan kon menyusul divestasi BUMN telekomunikasi, lambatnya realisasi pendirian Badan Regulasi telekomunikasi yang bersifat mandiri sesuai dengan mandat Undang – Undang Nomor 36/1999 tentang Telekomunikasi, permasalahan Struktur, Perilaku dan Kinerja industri telematika Indonesia terutama setelah berlakunya AFTA, dan regim perdagangan bebas, serta belum adanya upaya serius dari pemerintah untuk memberi perhatian sepenuhnya terhadap pemanfaatan Internet dan dampaknya.
Kelembagaan
IstilahTelematika atau Information and Communication Technology (ICT) digunakan di Indonesia sebagai suatu keputusan politik pemerintah dalam bentuk Keputusan Presiden untuk menandai perlunya mengantisipasi fenomena konvergensi teknologi informasi dan telekomunikasi. Keputusan Presiden dimaksud adalah Keppres Nomor 20/1999 tentang pembentukan Tim Koordinasi Telematika Indonesia (TKTI) yang kemudian diperbarui dengan Keppres Nomor 50/2000 .
IstilahTelematika atau Information and Communication Technology (ICT) digunakan di Indonesia sebagai suatu keputusan politik pemerintah dalam bentuk Keputusan Presiden untuk menandai perlunya mengantisipasi fenomena konvergensi teknologi informasi dan telekomunikasi. Keputusan Presiden dimaksud adalah Keppres Nomor 20/1999 tentang pembentukan Tim Koordinasi Telematika Indonesia (TKTI) yang kemudian diperbarui dengan Keppres Nomor 50/2000 .
Yang menarik,
menyusul pergantian regim GusDur ke rejim Megawati, sekarang ini keberadaaan
TKTI hanya di atas kertas belaka. Padahal, sesuai dengan cita – cita yang
dicanangkan, keberadaan TKTI dimaksudkan untuk membangun sinergi dan koordinasi
antar lembaga pemerintah dan pelaku dunia usaha di bidang telematika sehingga
secara bersama membangun kebijakan maupun merancang program yang dapat
menstimulasi pertumbuhan pemanfataan telematika di Indonesia.
Meski ada TKTI yang
diketuai oleh Megawati, namun demikian dalam penyusunan kabinet gotong royong,
keberadaan TKTI tidak memiliki peran sama sekali, bahkan dianggap tidak ada.
Demikian pula dalam kebijakan kelembagaan, meski diperkirakan sudah mengetahui
bahwa sebagai konsekuensi konvergensi, terjadi perubahan mendasar pada layanan
dan struktur industri telematika, namun demikian hal ini tidak disikapi dengan
mengintegrasikan instansi pemerintah yang berwenang mengelola kebijakan sektor
telematika. Kemunculan Kementrian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) dengan
tugas sebagai perancang kebijakan sistem informasi nasional termasuk telematika
dan penyiaran masih harus dipisahkan dari institusi yang mengelola
telekomunikasi. Hingga saat ini lembaga pemerintah yang berwenang mengurusi
masalah telekomunikasi masih dipegang oleh Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi
di bawah Departemen Perhubungan. Adanya dua institusi pemerintah yang mengurusi
permasalahan sejenis, sempat menimbulkan kebingungan di kalangan pelaku dan
dunia usaha bidang telematika.
Ke depan, jika
Pemerintah konsisten dengan keinginan untuk membangun sektor telematika, perlu
dipersiapkan pembentukan sektor baru yang khusus membidangi Telematika. Jika
kita simak ke belakang, pembangunan di sektor telekomunikasi ternyata tidak
memperoleh perhatian yang serius dari pemerintah. Indikator mengenai hal ini
dapat dilihat dari keberadaan instansi setingkat Departemen yang membidangi
telekomunikasi selalu berganti – ganti dan ditempelkan ke bidang lain. Pernah
pada suatu masa telekomunikasi digabung dengan pariwisata, kemudian dipindahkan
dan digabung dengan perhubungan, dan sekarang bahkan muncul dua kementrian yang
membidangi hal serupa. Pembentukan suatu sektor dalam pembanguan akan berdampak
pada penuhnya perhatian para eksekutif karena dan kuatnya daya operasional
untuk membangun sektor yang bersangkutan. Selain itu, jika kita simak, selama
tiga dasa warsa terakhir ini, kontribusi sektor telekomunikasi terhadap GNP
masih relatif rendah (rata – rata 3%) itupun masih digabung dengan kontribusi
dari sektor perhubungan. Pembentukan sektor telematika yang terpisah dari
sektor lainnya diperkirakan akan mendorong kesadaran para pelaku di sektor ini
untuk meningkatkan kontribusinya pada Pendapatan Nasional. Implikasi lain, dari
dibentuknya sektor telematika, adalah disediakannya anggaran pembangunan dalam
APBN, maupun kementrian yang memiliki ruang lingkup lebih luas dalam
pengelolaan sektor telematika.
Sementara itu,
menyusul pembubaran Departemen Penerangan dan mulai berlakunya otonomi daerah,
terjadi perubahan menyolok pada lembaga pemerintah yang mengurusi sektor
informasi dan komunikasi di daerah – daerah. Perubahan ini ditandai dengan
perbedaan nomenklature, tugas pokok dan fungsi, serta struktur organisasinya.
Selain itu, muncul kencenderungan sektor telematika dijadikan objek bagi
pengumpulan PAD melalu perda perijinan penyelengaraan usaha informasi dan
komunikasi.
Menjelang akhir tahun
2002, pemerintah bersama DPR berhasil menyetujui disahkannya Undang – Undang
Penyiaran. Tindak lanjut dari disahkannya UU ini adalah perlunya segera
dibangun Komisi Penyiaran Independen (KPI). Agar kinerja KPI dapat sepenuhnya
mencerminkan amanat UU Penyiaran, sebaiknya masyarakat segera mengajukan
rancangan struktur dan tata laksana KPI, mekanisme rekruitmen anggota KPI,
mekanisme pengawasan, serta tata cara hubungan antara KPI dan KPI Daerah.
Badan Regulasi Telekomunikasi
Menyusul diberlakukannya UU 36/1999 tentang Telekomunikasi yang menggantikan UU 3/89, muncul berbagai harapan agar Indonesia segera memiliki Badan Regulasi Telekomunikasi (BRT) yang bersifat mandiri. Pengertian mandiri di sini, dalam pengertian mandiri terhadap operator telekomunikasi yang diatur, dan mandiri dalam pembuatan keputusan. Meski tidak ada suara yang menentang berdirinya BRT, namun demikian tidak berarti tidak ada masalah dalam realisasinya.
Menyusul diberlakukannya UU 36/1999 tentang Telekomunikasi yang menggantikan UU 3/89, muncul berbagai harapan agar Indonesia segera memiliki Badan Regulasi Telekomunikasi (BRT) yang bersifat mandiri. Pengertian mandiri di sini, dalam pengertian mandiri terhadap operator telekomunikasi yang diatur, dan mandiri dalam pembuatan keputusan. Meski tidak ada suara yang menentang berdirinya BRT, namun demikian tidak berarti tidak ada masalah dalam realisasinya.
Permasalahan mendasar
dari kemandegan proses pendirian BRT adalah pada lemahnya landasan hukum yang
ada. Pasal 5 UU 36/1999 yang disebut – sebut sebagai acuan perlu didirikanya
BRT, berdasarkan kajian, ternyata masih sumir. Demikian pula bagian penjelasan pada
UU 36/1999 tersebut tidak memiliki kekuatan hukum yang mencukupi bagi pendirian
BRT.
Namun demikian, jika
langkah yang ditempuh adalah merubah UU 36/1999, dapat diperkirakan akan
memerlukan waktu yang cukup lama, sementara perubahan pasar menuju pasar yang
kompetitif, di mana diperlukan peran regulator yang mandiri sudah sangat
mendesak. Oleh karena itu diperlukan tindakan terobosan yang dapat disepakati
bersama oleh DPR dan Pemerintah.
Bisnis
Ditengah minimnya kelangkaan infrastruktur telekomunikasi serta rendahnya pemahaman masyarakat luas terhadap telematika, di sisi lain ternyata muncul inisiatif-inisiatif baru yang dikembangkan oleh masing-masing pelaku usaha muda dalam rangka membentuk infrastruktur informasi alternatif yang meliputi aspek aplikasi, jasa dan infrastruktur fisik. Dari sisi teknologi terdapat empat area yang dianggap sebagai pendorong yaitu yang berkaitan dengan bandwidth komunikasi, teknologi peralatan elektronika, teknologi manipulasi informasi, dan teknologi sistem pembayaran yang dikembangkan secara on-line.
Peluang yang diciptakan oleh penerapan perdagangan elektronis adalah terciptanya pasar-pasar baru, produk dan pelayanan baru, proses-proses bisnis baru yang lebih efisien dan canggih, serta penciptaan perusahaan-perusahaan dengan jangkauan lebih (extended enterprise), sedangkan kendala-kendala umumnya berkisar pada masalah bandwidth dan kapasitas jaringan, keamanan, harga teknologi, aksesabilitas, struktur sosial-ekonomi-demografi, kendala politik dan hukum, censorship, serta edukasi -sosialisasi masyarakat.
Perkembangan lingkungan regulasi menunjukkan bahwa Indonesia telah mulai menerapkan perdagangan elektronis, telah mulai pula meninjau ulang lingkungan regulasinya. Sebuah kerangka regulasi baru di bidang telematika diperlukan untuk memfasilitasi pemanfaatan telematika di banyak sektor perekonomian. Tinjauan ulang regulasi sangat banyak dipengaruhi oleh manfaat-manfaat konvergensi Computer-Communications-Content pada industri-industri yang terkena dampak serta resiko-resiko yang diciptakan oleh perdagangan elektronis, seperti misalnya keabsahan dokumen elektronis dan pengaturan hak kepemilikan intelektual (intellectual property right).
Beberapa isu bisnis lain yang mewarnai tahun 2002 adalah:
1. Telkomnet Instant versus ISP
2. Runtuhnya bisnis VoIP
3. Pelaku pasar dominan
4. Divestasi saham ISAT
5. Kepemilikan silang oleh pihak asing terhadap perusahaan telekomunikasi
6. Merger operator DCS.
7. E-Commerce dan E-Business yang tidak berkembang
8. Implementasi E-procurement di beberapa perusahaan nasional
9. Pemerintah sebagai pasar e-government
Ditengah minimnya kelangkaan infrastruktur telekomunikasi serta rendahnya pemahaman masyarakat luas terhadap telematika, di sisi lain ternyata muncul inisiatif-inisiatif baru yang dikembangkan oleh masing-masing pelaku usaha muda dalam rangka membentuk infrastruktur informasi alternatif yang meliputi aspek aplikasi, jasa dan infrastruktur fisik. Dari sisi teknologi terdapat empat area yang dianggap sebagai pendorong yaitu yang berkaitan dengan bandwidth komunikasi, teknologi peralatan elektronika, teknologi manipulasi informasi, dan teknologi sistem pembayaran yang dikembangkan secara on-line.
Peluang yang diciptakan oleh penerapan perdagangan elektronis adalah terciptanya pasar-pasar baru, produk dan pelayanan baru, proses-proses bisnis baru yang lebih efisien dan canggih, serta penciptaan perusahaan-perusahaan dengan jangkauan lebih (extended enterprise), sedangkan kendala-kendala umumnya berkisar pada masalah bandwidth dan kapasitas jaringan, keamanan, harga teknologi, aksesabilitas, struktur sosial-ekonomi-demografi, kendala politik dan hukum, censorship, serta edukasi -sosialisasi masyarakat.
Perkembangan lingkungan regulasi menunjukkan bahwa Indonesia telah mulai menerapkan perdagangan elektronis, telah mulai pula meninjau ulang lingkungan regulasinya. Sebuah kerangka regulasi baru di bidang telematika diperlukan untuk memfasilitasi pemanfaatan telematika di banyak sektor perekonomian. Tinjauan ulang regulasi sangat banyak dipengaruhi oleh manfaat-manfaat konvergensi Computer-Communications-Content pada industri-industri yang terkena dampak serta resiko-resiko yang diciptakan oleh perdagangan elektronis, seperti misalnya keabsahan dokumen elektronis dan pengaturan hak kepemilikan intelektual (intellectual property right).
Beberapa isu bisnis lain yang mewarnai tahun 2002 adalah:
1. Telkomnet Instant versus ISP
2. Runtuhnya bisnis VoIP
3. Pelaku pasar dominan
4. Divestasi saham ISAT
5. Kepemilikan silang oleh pihak asing terhadap perusahaan telekomunikasi
6. Merger operator DCS.
7. E-Commerce dan E-Business yang tidak berkembang
8. Implementasi E-procurement di beberapa perusahaan nasional
9. Pemerintah sebagai pasar e-government
Regulasi
Teledensity adalah indikator yang lazim digunakan di lingkungan telekomunikasi
untuk menunjukkan jumlah satuan sambungan telepon PSTN terpasang (SST) per
seratus jiwa. Pada saat ini teledensity Indonesia baru mencapai 3%, ini
artinya, setiap 100 orang hanya tersedia 3 saluran telepon yang terpasang.
Angka ini tergolong rendah terutama jika dibandingkan dengan negara maju atau
bahkan negara tetangga Asean. Amerika 98%, Jepang 70%, Norwegia 92%, Singapura
67%, Malaysia 12%, Thailand 8%, dan Philippina 6%.
Selain teledensity,
penyebaran pengguna juga merupakan masalah tersendiri. Dari sekitar 6 juta SST,
40% berada di Wilayah Jabotabek, 20% di Pulau Jawa, dan 30% tersebar di
berbagai pulau di luar jawa. Kelebihan penawaran seringkali terjadi di Jakarta
atau kota – kota besar di jawa lainnya, sementara daftar tunggu di daerah makin
memanjang dan tidak semuanya dapat dilayani oleh PT. Telkom. Implikasi dari
kondisi semacam ini bermacam macam, dari mahalnya biaya telekomunikasi
interlokal, hingga makin enggannya PT. Telkom membangun jaringan baru di
wilayah – wilayah yang secara ekonomi tidak potensial menyusul diberlakukannya
kebijakan duopoli. Sebagai akibatnya penyebaran informasi dan penyediaan sarana
akses informasi menjadi terhambat.
Isu Kebijakan Telekomunikasi yang
berkembang selama tahun 2002 dan diperkirakan masih akan mewarnai tahun 2003
antara lain:
1. Tarif telepon dan interkoneksi
2. Regulasi Interkoneksi
3. VoIP
4. Perijinan
5. Privatisasi / divestasi BUMN telekomunikasi
6. Cross Ownership
7. USO
8. Badan Regulasi Independen
9. Restrukturisasi: Monopoli, Duopoli, dan kompetisi
10. Kompensasi teminasi dini Telkom dan Indosat
11. Standarisasi Peralatan Telekomunikasi
1. Tarif telepon dan interkoneksi
2. Regulasi Interkoneksi
3. VoIP
4. Perijinan
5. Privatisasi / divestasi BUMN telekomunikasi
6. Cross Ownership
7. USO
8. Badan Regulasi Independen
9. Restrukturisasi: Monopoli, Duopoli, dan kompetisi
10. Kompensasi teminasi dini Telkom dan Indosat
11. Standarisasi Peralatan Telekomunikasi
Selain isu yang berkaitan dengan bisnis,
ada beberapa isu kebijakan lain yang berkaitan dengan masyarakat luas, antara
lain:
1. Inpres 6/2001
2. Sistem Informasi Nasional
3. E-Government
4. Penyiapan perangkat legal
a. RUU Pemanfaatan Teknologi Informasi (RUU-PTI)
b. RUU Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik
c. RUU Tindak Pidana Kejahatan Telematika
d. RUU Kebebesan Mengakses Informasi Publik
e. Revisi Undang – Undang Telekomunikasi
5. Kontorversi Undang – Undang Penyiaran
6. Pengaturan Internet
1. Inpres 6/2001
2. Sistem Informasi Nasional
3. E-Government
4. Penyiapan perangkat legal
a. RUU Pemanfaatan Teknologi Informasi (RUU-PTI)
b. RUU Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik
c. RUU Tindak Pidana Kejahatan Telematika
d. RUU Kebebesan Mengakses Informasi Publik
e. Revisi Undang – Undang Telekomunikasi
5. Kontorversi Undang – Undang Penyiaran
6. Pengaturan Internet
Kesimpulan :
seiring dengan perkembangan zaman terutama teknologi,
sudah selayaknya pembengembangan telematika di indonesia lebih dipercepat guna
menyongsong dalam hal kemajuan di bidang perdagangan dimana kegiatan transaksi
dan pertukaran informasi menjadi lebih cepat.
namun hal demikian masih sangat sulit
direalisasikan disebabkan masih terkendalanya anggaran dalam membangun
fasilitas di berbagai pelosok daerah sehingga masih menggunakan sistem yang
lama, membuat segala kegiatan terasa lebih lambat dan memakan banyak waktu yang
dalam hal ini pertukaran informasi. disamping itu pemerataan yang belum
menjangkau daerah-daerah terpencil, hanya berpusat di sekitar daerah kota saja
membuat pengimplentasian prasaran aplikasi kian mustahil. untuk itu butuh
kesadaran pada pihal yang saling terkait untuk membangun serta mendukung
terwujudnya wawasan nusantara dan masyarat informasi di era global kini.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar