WELCOME TO MY WORLD

WELCOME TO MY WORLD

Selasa, 01 Oktober 2013

Opini Saya Mengenai Hari Kesaktian Pancasila

“Monumen ini dipersembahkan bagi tujuh pahlawan revolusi korban kebiadaban Gerakan 30 September PKI yang mencoba mengkhianati Pancasila yang sakti.”
Itulah narasi pembuka film Pengkhianatan Gerakan 30 September-PKI yang disutradarai Arifin C Noer untuk mereka ulang penculikan dan pembunuhan enam jenderal angkatan darat pada 30 September malam tahun 1965. Dirilis sejak 1984, film ini wajib ditonton karena ditayangkan oleh stasiun televisi nasional setiap 30 September malam.
Pemutaran rutin tersebut dihentikan pada 1998, seiring bergantinya rezim pemerintahan. Bersamaan dengan hal itu, kian ramai bermunculan pertanyaan mengenai kebenaran sejarah dari 30 September 1965 malam.
Isu ini selalu menjadi perdebatan karena dampak dari pengaitan penculikan dan pembunuhan jenderal dengan PKI diikuti dengan kampanye pembunuhan orang- orang yang dituduh sebagai komunis di sejumlah daerah di Indonesia.
Sudah 45 tahun berlalu, muncul beberapa film yang menggambarkan peristiwa tersebut dari sudut pandang yang berbeda. Misalnya film dokumenter 40 Years of Silence karya Robert Emelson mengangkat kisah keluarga yang tercerabut gara-gara pembantaian tersebut atau The Act of Killing yang disutradarai Joshua Oppenheimer mengangkat pembantaian dari sudut pandang eksekutornya.
Di media sosial, peristiwa 30 September 1965 terus diingatkan melalui berbagai tweet berseri dari akun-akun dari sejarawan, seperti @JJRizal atau @BonnieTriyana.
Beberapa topik bermunculan di lini masa Twitter, seperti menghilangkan PKI dari G30S karena bermunculan catatan sejarah bahwa kejadian tersebut dilatarbelakangi friksi di dalam institusi militer. Ada pula yang mendorong penggunaan istilah Gestok atau Gerakan Satu Oktober karena peristiwa 48 tahun lalu terjadi pada 1 Oktober dini hari.
Tagar #PenjaraGangBuntu muncul dengan mengangkat kisah fasilitas penjara tahanan politik di daerah Kebayoran Lama, Jakarta, yang terkenal mengerikan. Selain itu akun @nobodycorp juga bercerita mengenai simpang siur pemberitaan setelah mayat jenderal diangkat dari sumur di Lubang Buaya.
Di Twitter, pemakaian kata ”G30S” ataupun ”Gestok” melonjak dalam dua hari terakhir.Untuk G30S sudah tersebut hingga 15.000 kali, sedangkan Gestok sebanyak 2.000 kali. Pencarian kata kunci ”G30S” di mesin pencari Google umumnya masih mencantumkan ”PKI”.
Mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi pada malam itu sungguh penting bagi perjalanan sejarah Indonesia.
Rekonsiliasi dengan masa lalu untuk membangun kerja sama pada masa mendatang. Kuncinya adalah mengetahui apa yang terjadi sesungguhnya sebelum penyakit lupa sejarah datang.

Sumber Berita : http://nasional.kompas.com/read/2013/10/01/1806163/30.September.yang.Gelap.hingga.Kini

OPINI MENGENAI HAL INI :

Bagi yang masih sekolah, sudah pasti tanggal 1 Oktober akan diperingati dengan upacara bendera. Namun bagi yang sudah lulus atau minimal duduk di perguruan tinggi, mungkin sudah lupa-lupa ingat pada hari ini. Padahal, namanya mentereng: Hari Kesaktian Pancasila. Dulu di waktu Orde Baru, malah selalu ada ritual khusus. Dalam hal pengibaran bendera, pada 30 September dikibarkan bendera merah putih setengah tiang, untuk kemudian dikerek satu tiang penuh pada 1 Oktober. Di tingkat nasional, juga selalu diadakan upacara baik di Taman Makam Pahlawan Kalibata maupun di Monumen Pancasila Sakti Lubang Buaya-Jakarta Timur. Untuk tahun ini, menurut situs presidenri.go.id, temanya adalah “Dengan Peringatan Hari Kesaktian Pancasila, Kita Perkokoh Semangat Persatuan dan Kesatuan Menuju Bangsa Indonesia yang Berkarakter”.

Kini, sekian puluh tahun usia bangsa yang masih muda, kita justru kerap melupakan sendi-sendi penting bagi berdirinya sebuah negara. Antara lain adalah Pancasila sebagai dasar negara. Setelah UUD 1945 diamandemen dengan agak serampangan di masa reformasi ini, hanya Pancasila-lah yang tidak bisa diubah. Kalau Pancasila berubah, maka secara teoretis Indonesia harus bubar. Dasar negara kita itu secara simbolik diwakili oleh bentuk burung garuda yang tentu saja distilisasi. Ia menyandang perisai berisi lambang dari masing-masing sila Pancasila.
Karena selama Orde Baru Soeharto menggunakan Pancasila untuk melegalkan kekuasaannya, seolah dasar negara kita itu menjadi pro-Orba. Begitu Soeharto tumbang, sontak penataran P-4 dan lembaga BP-7 dibubarkan. Praktis, pasca reformasi penghayatan dan pengamalan kita terhadap dasar negara menjadi sangat kurang. Barulah akhir-akhir ini para pemimpin negara seolah disadarkan kembali bahwa kita tak bisa berpaling darinya.
Sebagai rakyat biasa, saya cuma bisa berharap pemerintah membuat langkah konkret dalam mempertahankan dasar negara sekaligus memperluas penerapannya. Tentu saja, kontribusi saya lagi-lagi sebatas membuat tulisan saja. Mungkin tak berguna banyak, namun setidaknya membantu mengingatkan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar